Kamis, 19 Januari 2012

puisi " KUCING " Oleh sutardji Calzoum Bachri


Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang..

Memahami Puisi, 1995





ANALISIS

Dari puisi di atas, nampak beberapa sisi yang menunjukkan unsur mantra dalam puisi karya Sutardji. Contohnya adalah terdapatnya unsur religi seperti penyebutan nama Tuhan. Dalam puisi “Kucing”, nampak pula bahwa terdapat proses pencarian hakikat tentang Tuhan yang dilambangkan dengan kucing yangsedang kelaparan.

menyatakan bahwa “kucing” dalam puisi di atas merupakan lambang darisemangat masyarakat yang tak pernah redup dalam mencari Tuhan. Meskipun tak pernah pernah tercapai, namun mereka terus mencari. Namun, bila kita selami pemikiran Sitardji, dalam konsep “Kredo”-nya,Sutardji sesungguhnya ingin membebaskan kata-kata dari fungsinya sebagai alat pembawa pengertian Lebih lanjut, Sutardji menyatakan pula bahwa kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi yang ia ciptakan, Sutardji pun mengatakan dengan tegas bahwa ia ingin membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus-kamus dan penjajahan lain. Pemikirannya yang kedua dalam “Kredo”-nya tersebut, Sutardji juga ingin “mengembalikan kata kepada mantra”.Sutardji yang tak pernah mendefinisikan makna dari mantra dalam pemikirannya ditambah dengan karya-karyanya berupa puisi —salah satunya dapat dilihat pada “Kucing”—yang sarat akan kata-kata dengan rasa magisagaknya menimbulkan anggapan bagi masyarakat bahwa karyanya memanglah mantra. kata-kata dan kalimat dalam puisi Sutardji, termasuk dalam puisi “Kucing” di atas, jika dirangkaikan satu sama lain sesungguhnya dapatmembentuk suatu prosa yang terdiri dari kalimat-kalimat sederhana. Pada puisi diatas, terdapat pemenggalan suku kata yang tidak biasa seperti “af” dengan“rikaku” terpisah pada baris baru. Namun jika dilihat kembali, bukan tak mungkin bahwa tujuan Sutardji melakukan pemenggalan-pemenggalan tak biasa tersebut

adalah guna menghasilkan suatu tipografi dengan bentuk setengah sisi siluetkucing (terbentuk pada sisi kanan atau perpaduan akhir kalimat pada setiap baris).Dari hal ini dapat terlihat bahwa unsur mantra dalam puisi lama sungguh berbeda dengan unsur mantra yang dianggap oleh sebagian besar orang terdapat dalam karya-karya Sutardji. Keunikan yang dicapai Sutardji lebih cenderung kearah tipografi pada puisinya. Pada mantra dalam puisi lama pun tentu tidak terdapat tipografi. Selain itu, perbedaan nampak pula pada tujuan penciptaanmantra. Jika mantra dalam puisi lama bertujuan untuk memperoleh kekuatan yang bersumber dari unsur gaib, maka tujuan penciptaan karya-karya Sutardji yang dianggap berunsur mantra tentu tidaklah serupa. Tentu terdapat pesan yang masih dapat ditelusuri dalam karya Sutardji dan sekali lagi pengedepanan permainan tipografi menjadi amat penting baginya

0 komentar:

Posting Komentar